Puisi Wyaz Ibn Sinentang


Puisi-puisi Wyaz Ibn Sinentang terbit di Pontianak Post, Minggu, 25 September 2016.
Judul puisi yang terbit, yaitu: Teratai Abadi, I, Teratai Abadi, II, Seuntai Asa yang Masih Tinggal, Tegar (buat: anakku), dan Mata (c)elang.


Teratai Abadi, I

Senja sudah tak hasrat cumbui pelangi
Sedang ranummu rekah kian mewangi
Seperti genggam asa namun tak tersambangi

Kata demi kata terpompa rangkai rindu
Kabar terbawa angin hingga pucuk randu
Kau tawan diamku dalam suasana sendu

Hari berganti paras elok menyimpan misteri
Harusnya kusadari pesona itu kian berseri
Harap terkubur tak jau synyummu memberi
Bumi, ale-ale, 3 Juni 2014 

 Teratai Abadi, II

Salam angin tertahan dalam diam wajah
Siksa hati menguak sepi rindu merajah

Alirkan rak pada tasik merimbun cemburu
Anggunmu tetap terbayang gairah darah memburu

Baik lirih manja menggoda melarung samudera
Bila waktu masih berpihak takkan risau mendera
Bumi, ale-ale, 3 Juni 2014




Seuntai Asa yang Masih Tinggal

Kata kita boleh menghabmbur bebas
Mencari ujud kebenaran yang pasti
Namun akal membludak jangan dilepas
Perangai duniawi seketika menjerat hati

Wajah kita cerminkan beragam budaya
Hias persada kabarkan kisah beradab
Dari keterpurukan hidup tak berdaya
Kokoh iman jauhi segala yang biadab

Warna kita memang sangat berbeda
Bukan sebuah alasan untuk dipertentangkan
Ukhuwah membentang indah dalam dada
Tangkai kemunafikan yang kerap bertebaran

Tengadah asa jemput sepercik kerinduan
Aliri gelora darah pada tanah tumpah
Marwah dan haskat sama di pangkuan
Takkan ada yang bisa memecah belah
Bumi, ale-ale, 6 september 2014


Tegar (buat: anakku)

Hidup itu adalah sebuah pilihan
Butuh ketekunan dan juga pengorbanan
Jujur berkata dalam setiap ucapan

Hidup itu adalah proses pendewasaan
Sabat menanti kunci yang terdepan
Jangan mudah terpancing oleh keegoan

Berdiri tegar tatap masa depan
Hari akan terus menggerus zaman
Sadari diri demi gapai kebahagiaan
Bumi, ale-ale, 17 Juni 2014


Mata (c)elang

Dia lelaki tak bernama pencari kerinduan
Wajah dingin menikam kata akan kebencian
Setiap malam selalu bersimbah peluh cacian

Di sudut fajar hatinya kian masygul
Hasrat tersendat ditikam kelu bagai tunggul
Asa menyusut pudar di atas tanggul

Saat mentari bangun dari peraduan asmara
Gelap mata rasa hilang hadirkan sengsara
Terbelenggu cemburu gairah darah sang dara

Bumi, ale-ale, 19 Juni 2014
Share on Google Plus

About Asmirizani

Lelaki biasa yang sedang belajar mengeja hidup. Membaca, menulis, dan belajar tiada henti ditemani secangkir kopi jahe,

0 komentar:

Posting Komentar