Amarah


Oleh: Asmirizani



Gundukan kemarahan hanya terbenam dalam hatiku. Aku tak bisa banyak berkata lagi. Hanya pandangan sayu seolah menatap pada mereka yang tak juga takut. Mereka (siswa-siswa Menengah Pertama yang hilang imutnya) membalas memandang balik dengan tatapan yang tak kumengerti. Seperti tatapan mata mengejek, menggoda, dan menghina, “Sial (satu kosa kata kotor yang harus kuhilangkan)” cercahku refleks di hati. Dan seketika aku mengucapkan “astarfirullah” berkali-kali dalam hati untuk membilas kata-kata kotor dan kekhilafan.

Aku berdiri. Agak terasa lama dengan menatap sayu. Memandang satu-persatu wajah yang selalu merasa tak bersalah. Bibir mereka mengeluarkan kata-kata yang tak tepat waktu. Mulut-mulut mereka yang selalu sahut-menyahut bagai anak burung yang berebut makan dari induknya. Mereka semakin tak mau diam. Di antara mereka ada yang
menyadari merasa tertusuk sayu mataku dan merasa bersalah. “woi diamlah. Bapak marah tu.” Mungkin hanya sebagian siswa yang tau bahwa diam seorang guru itu adalah kemarahan (tentunya dalam situasi gaduh).

Aku tak bisa mendiamkan bahkan menenangkan dengan tatapan mataku yang sayu. Apalagi tatapan mata tajam, karena aku terlahir dengan mata yang kecil dan sipit serta sayu. Tak seperti sebagian orang yang terlahir dengan mata yang tajam dan menusuk. Tak juga seperti para lelaki lain yang memiliki bola mata yang bila melotot, matanya seperti mata ikan mas koki. Hendak keluar dari tempatnya. Suaraku pun yang kata sebagian orang “tak Vokal”. Aku pun tak tau maksudnya. Mungkin tak nyaring seperti iklan permen penyegar tenggorokan. Tokoh pria iklan itu memanggil, “mama…mama…mamaaa” dan semua perempuan memaling wajah padanya. Wajahku pun tak juga seperti raut wajah lelaki yang menyeramkan serta menakutkan bagi orang lain. Karena wajahku sedikit imut-imut dan wajah kalem. Huhaha.

Aku berjalan dengan sigap dan cepat (tentunya bukan berjalan seperti robot) menghampiri oknum-oknum kelas yang membuat gaduh. Dengan tangan refleks, aku menyentuh baju dari perut mereka. Memberikan satu cubitan sayang (tentunya bercampur geram). Mereka mengelus-ngelus lokasi yang terjamah oleh jari yang mengelintir. Seketika satu kelas hening. Mungkin karena takut. Tetapi tak lama. Dan oknum mulai membuat gaduh. Betapa menyengkelkan bila kita tak ditakuti oleh siswa. Mungkin saja menakutkan lebih dari seorang bahkan seekor monster.

Sebagian berpandangan salah jika kita menjadi sosok yang menakutkan bagi siswa. Siswa hanya takut dengan sifat kita. Kita sebagai pengajar yang memiliki momok sangat menyeramkan, bagai monster yang siap menelan mangsa. Mereka tunduk seketika dan di belakang kita, mereka mencaci maki kita. Sebagian juga berpandangan salah, jika memberikan pendekatan dengan siswa secara kekeluargaan bahkan pertemanan/persahabatan. Siswa malah meremehkan kita. Seolah merasa dekat, mereka lupa batas-batasan antara pengajar dan peserta didik.

Menjengkelkan memang. Mau gimana lagi, jika siswa sudah terbenam sifat negatif seperti itu. Apa ini merupakan salah guru? atau malah salah siswa? Tak bisa disalahkan dan tak mau disalahkan.

Aku diam sejenak di ruang guru. Merenung dan sedikit merasa penyesalan sifatku pada siswa (tentunya dalam hal menghukum). Merasa bersalah. Rasanya tak ingin mengulangi seperti itu lagi. Tetapi, oknum kegaduhan itu selalu membuat perhatian untuk menggerakkan tangan memberikan hukuman fisik. Terkadang aku merasa sangat bersalah dan berdosa.

Mungkin beginilah jadi seorang pendidik. Apalagi pendidik sepertiku yang belum memiliki segudang pengalaman mendidik (maklum pendidik muda. Huhaha.). Aku harus Berteriak-teriak menjinakkan makhluk satu kandang (walau berbunyi cempreng bak kaleng kosong). Terkadang perlu juga memberikan penghukuman bentuk fisik seperti mencubit, membentak, membesut bahkan jika perlu memukul (tentunya tidak terlalu mengarah pada kekerasan. Sedikit kelembutan saja teman. Huhaha.). Sifat ini memang sangat kejam. Seperti menghadapi makhluk yang berperilaku bukan makhluk (jadi apa dong? Tebak sendiri ya. Aku pun garuk-garuk kepala. He).

Jengkel. Hanya gundukan kekesalan tak melawan jika selalu mengingat ini.
Mungkin inilah rasanya menjadi seorang guru dan inilah tantangan seorang guru. Harus menjinakkan satu kandang manusia yang beraneka ragam isi kepala. Memberikan pembelajaran, pendidikan, dan pemahaman.

Bagi guru-guru muda, apakah kalian merasakan hal yang sama? Atau hanya aku yang merasakan hal seperti ini. Dan bagi calon guru muda, bersiaplah menghadapi situasi seperti ini. syukur-syukur tidak mendapatkan makhluk seperti yang saya dapati. Mungkin Anda perlu bersiap dengan referensi-referensi akademis untuk mengatasi makhluk-makhluk seperti ini di lapangan.
Jika ada referensi, tolong berbagi sama aku. Sehingga aku bisa menjinakkan makhluk yang kudapati ini. he.

Diam-diam ya: Aku berniat membakar hidup-hidup makhluk oknum kegaduhan dalam kelas, membuat kesal dll yang berpotensi bakal merusak kerja otakku. Kan kujadikan bangkai mereka pupuk bermutu tinggi untuk penyuburan lahan sawit. Huhaha.

Pontianak,
31 Oktober sd 1 November 2012
Share on Google Plus

About Asmirizani

Lelaki biasa yang sedang belajar mengeja hidup. Membaca, menulis, dan belajar tiada henti ditemani secangkir kopi jahe,

1 komentar:

  1. I don't really understand people who are always angry. To my mind, anger kills your life. You must be more calm if you want to live normal life.

    BalasHapus