SASTRAWAN

Oleh: Anindita S Thayf

Dimuat di Lampung Post, 26/10/2016

Siapakah yang layak mendapatkan sebutan sastrawan? Sampai sekarang penyebutan “gelar” sastrawan masih menjadi perdebatan yang ramai. Ujung pangkal persoalan ini karena dalam kesusastraan Indonesia ada pemisahan antara sastra populer dan sastra serius.

Dalam pengantar untuk novel Raumanen (2006) karya Marianne Katoppo, Pam Allen mengungkapkan munculnya sastra populer untuk menandai kelahiran karya Nh. Dini berjudul Pada Sebuah Kapal dan karya Marga T berjudul Karmila pada awal 70-an. Istilah sastra populer ini dipakai untuk membedakannya dengan sastra serius seperti karya-karya penulis Balai Pustaka, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ajip Rosidi, Sitor Situmorang, dan lain-lain.

Menurut A. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern II (1989), keberadaan sastra populer, dengan hasilnya berupa novel pop, tidak dapat diabaikan. Sebagai bacaan hiburan, keberadaan novel pop merajai toko-toko buku. Kenyataan tersebut memperlihatkan betapa pembaca sangat menyukai karya jenis itu sebagai hiburan dan pelipur lara.

Saat ini, situasi yang digambarkan A. Teeuw puluhan tahun lampau belum banyak berubah. Sastra populer masih digandrungi pembaca. Di saat majalah sastra  mengakhiri edisi cetaknya, majalah populer yang biasa memuat cerita-cerita populer (cerpen maupun novelet) masih sanggup bertahan. Pun, di toko buku, sastra populer masih mendominasi.

Perdebatan yang sering muncul seputar sastra populer, selain soal mutu, adalah layakkah penulis sastra populer disebut sastrawan atau tidak. Mereka juga penulis karya sastra, bukan?

Dalam esainya berjudul Sastra Pop, Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan protes La Rose dalam seminar Himpunan Pengarang Aksara di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1987. La Rose menggugat, mengapa karya-karyanya yang sudah diterjemahkan di berbagai universitas luar negeri masih disebut sastra pop?

Serupa A. Teeuw, Sutardji bersikeras bahwa sastra populer harus dibedakan dengan sastra serius. Baginya, sastra populer hanyalah kitsch yang bertujuan untuk melayani dan menghibur penggemarnya. Bahkan Sutardji memberikan peringatan di akhir esainya: "...kitsch bukan hanya menggerogoti seni serius bagaikan ulat memakan daun, melainkan lebih parah lagi, kitsch bisa merusak seniman serius yang tidak kuat imannya."

Dengan kata lain, sastra populer, bagi Sutardji, merupakan ancaman.
Dengan argumen tersebut penulis sastra populer tidak dimasukkan sebagai sastrawan. Tentu kita boleh sepakat atau menolak pendapat Sutardji ini.

Sebagai tolok ukur lain perihal apa itu sastrawan, kita bisa berangkat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI IV, pengertian sastrawan meliputi "ahli sastra"; "pujangga"; "pengarang prosa dan puisi"; "(orang) pandai-pandai"; "cerdik cendekia". Bila mengikuti KBBI, syarat agar seseorang mendapat sebutan sastrawan tidaklah mudah. Dia mesti seorang ahli, pujangga, orang pandai, cerdik cendikia dalam hal sastra.

Bila semua syarat itu terlampau sulit dipenuhi, masih ada celah agar gelar sastrawan bisa disandang oleh seorang penulis sastra populer. Sebagaimana yang tertulis dalam KBBI, salah satu pengertian sastrawan adalah "pengarang prosa". Untuk itu, marilah kita lihat pengertian “prosa”.

Prosa berasal dari bahasa Latin yang berarti "berterus terang". Bila mengikuti pengertian ini, para penulis sastra populer sudah bisa dikatakan sebagai sastrawan karena mereka berterus terang dalam karya-karyanya. Apa yang mereka sampaikan tersurat jelas dalam cerita. Karya mereka tidak butuh penafsiran yang mendalam untuk dipahami. Tidak pula ada makna tersembunyi seperti dalam Metamorfosis dan Proses karya Franz Kafka, umpamanya.

Selanjutnya, marilah kita lihat makna "prosa" dalam KBBI. "Prosa" bermakna "karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi)". Bila mengikuti pengertian ini maka penulis sastra populer kekinian semisal Raditya Dika dan Ika Natassa sudah bisa disebut sastrawan. Mengapa? Karena mereka menghasilkan karangan bebas. Mereka bahkan menggunakan bahasa gaul, bahkan mencampuradukkan bahasa Indonesia-Inggris, dengan benar-benar bebas.

Bila kriteria itu dipakai, untuk selanjutnya bisa dikatakan Indonesia bakal panen sastrawan. Dengan begitu, mungkin saja, kesempatan Indonesia untuk menyisipkan calonnya ke dalam daftar nominasi peraih Nobel Sastra di masa yang akan datang menjadi semakin besar pula.

Namun, bila masih terpecah antara sastra populer dengan sastra serius, perdebatan tentang siapa yang layak dan tidak layak disebut sastrawan sepertinya tidak akan pernah menemukan titik temu. Masing-masing orang tentu punya ukurannya sendiri, pun saya. Saya lebih memilih memakai istilah "tukang sastra" untuk mengganti penyebutan sastrawan.

Sebagaimana tukang-tukang yang lain, pekerjaan seorang penulis sastra adalah membuat karya sastra, entah prosa entah puisi. Dengan demikan, "tukang sastra" sama saja dengan tukang kursi, tukang bangunan, hingga tukang jamu; semuanya bekerja membuat sesuatu sesuai profesi masing-masing.***

*) Penulis. Tinggal di Yogyakarta

Terima kasih telah berkunjung di laman www.asmirizani.com. Saya menantikan pendapat Anda di kolom komentar. Bagikan tulisan ini dimedia sosila Anda. Semoga bermanfaat. Salam
Share on Google Plus

About Asmirizani

Lelaki biasa yang sedang belajar mengeja hidup. Membaca, menulis, dan belajar tiada henti ditemani secangkir kopi jahe,

0 komentar:

Posting Komentar